Benci itu Luka

sumber: pinterest/neaarty

Nona, musim hujan telah tiba. Dan seperti biasa, aku membencinya. Seperti tulisanku yang dulu-dulu, hujan ibarat tantangan. Mengubah suasana hati seorang melankolis menjadi tak karuan. Naasnya, aku adalah seorang melankolis. Meski begitu, apapun yang terjadi, hidup menuntut kita untuk produktif. Dan kini, aku malu. Melihat sekelompok anak kecil yang tak takut dengan awan mendung, rintik hujan, maupun guntur. Anehnya, mereka tertawa seolah tidak ada apa-apa. Yang panik justru ibu-ibu mereka, meneriaki untuk pulang. Tapi karena sifatnya yang bandel, permintaan itu tak diacuhkannya. Ah, seandainya mental orang dewasa juga begitu.

Selain hujan, aku juga benci pada pengakuan. Mengaku menjadi seorang introvert atau ekstrovert, aku tak percaya. Bukankah itu masalah internal yang menilai kemampuan seseorang dalam berinteraksi sosial? Kita dituntut untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Tapi tak semuanya bisa menjadi ahli. Disadari atau tidak, selalu ada perbedaan. Selalu ada tingkatan. Sementara manusia, menuntut kesempurnaan. 

Aku juga benci dengan sifat manusia yang bisa membaca gerak tubuh. Atau orang bodoh yang tak pandai menutupi ekspresinya. Tapi aku juga membenci mereka yang ahli dalam berbohong. Karena aku hanyalah manusia yang masuk dalam kategori bodoh. Atau sebenarnya aku bisa? Tapi reflek tubuh bodoh ini selalu ingin dimengerti oleh orang lain. Naasnya, tak kan ada yang peduli :))

Komentar