Lintasan masa

Sumber: pinterest/Flickr

Nona, aku memiliki pengertian tentang dewasa. Ia adalah subjek yang toleran. Seseorang yang berwawasan. 

Keadaan... saat aku tidak  mengerti banyak hal, sudah cukup kurasakan saat remaja. Dan semuanya terkumpul menjadi penyesalan. Kenyataanya, kehidupan ini bukan permainan. Dimana yang mati bisa hidup kembali. Tapi sama seperti permainan,  untuk naik tingkat kita perlu belajar dari suatu pengalaman. Maka, untuk naik tingkat menjadi dewasa, aku lebih banyak merenung. Bukan berimajinasi tapi mengevaluasi. Naasnya, dewasa tak cukup membuatku paham. Kenapa aku semakin membenci dan bukan mencintai?

Sejak kecil, aku mengagumi sosoknya. Raja yang dingin tapi sangat penyayang, lebih dari sang ratu. Masyarakat pada umumnya amat mencintai ibu mereka, tapi aku sebaliknya. Aku lebih menyukai ayah. Semua terbentuk begitu saja atas tumpukan perjalan di masa kecilku. Dan secara tidak sadar, cinta dan kebanggan terbentuk semestinya. Glorifikasiku pada teman, bahwa aku memiliki sosok raja yang hebat dalam keluarga. Setidaknya, sampai aku remaja.

Namun, dewasa membuatku merasa dikhianati. Karena banyaknya pertanyaan yang tidak terlalu kupikirkan saat remaja. Barangkali karena aku sangat mencintai sosoknya. Hingga lupa, bahwa konstruksi yang ia buat di kehidupanku adalah hal-hal yang sebenarnya kubenci. Sebab, aku tak memiliki jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sangat malu ku ajukan. Dan sosoknya yang tertutup, tak pernah memberikan ku sebuah jawaban.

Seharusnya, dewasa membuatku lebih toleran untuk memahami masa lalu sang raja. Sebenarnya, bagaimana kehidupan lamanya hingga menjadi sosok yang sekarang? Lagi-lagi aku terlalu bodoh untuk memahaminya. Nyatanya, dewasa juga menjadikanku sedikit egois dan keras kepala.

Aku lupa, dewasa juga memiliki tingkatan lainnya. Pertanyaan ini mungkin wajar di masa-masa awal. Aku hanya ingin tahu akhirnya. Lalu, bagaimana dengan masa tua. Aku rasa itu masa ketika kita kembali lagi pada masa kanak-kanak.

Komentar